Menggugat Pengiringan Opini: Menimbang Asas Praduga Tak Bersalah dalam Kasus Erzaldi Rosman (Editorial)

  • Bagikan

Pangkalpinang-ujungpensil.com

Kasus hukum selalu menjadi isu sensitif yang melibatkan berbagai pihak dan memerlukan penanganan yang hati-hati serta berimbang dalam pemberitaan. Artikel berita terbaru yang mengangkat dugaan keterlibatan Erzaldi Rosman dalam dua kasus korupsi, yaitu korupsi Komoditas Timah Babel dan pemanfaatan hutan negara di Sigambir Mendo Barat, sangat memerlukan analisis yang mendalam dan objektif. Namun, sayangnya, artikel tersebut terkesan menggiring opini publik secara sepihak dan mengabaikan asas praduga tak bersalah yang menjadi fondasi hukum di Indonesia.

Dalam sistem hukum Indonesia, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) merupakan salah satu prinsip fundamental yang harus dijunjung tinggi.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 14 ayat (2) ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 menegaskan bahwa setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan yang sah dan adil.

Oleh karena itu, pengiringan opini publik yang dilakukan oleh media, seperti yang terlihat dalam kasus Erzaldi Rosman, dapat merusak prinsip ini dan menimbulkan persepsi yang tidak adil di masyarakat.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur bahwa pers memiliki kewajiban untuk menyajikan berita yang akurat, seimbang, dan tidak menyesatkan.

Pasal 5 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menggariskan bahwa pers nasional wajib menghormati hak asasi setiap orang, termasuk dalam menyajikan berita secara berimbang dan tidak mencampuradukkan fakta dengan opini yang menghakimi.

Di sinilah letak masalah dari pemberitaan yang memposisikan Erzaldi Rosman dalam pusaran kasus korupsi tanpa bukti konkret yang kuat.

Dalam konteks ini, media harus berhati-hati dalam mempublikasikan berita yang dapat mempengaruhi opini publik terhadap seseorang yang belum terbukti bersalah di pengadilan.

Pertama, artikel tersebut menonjolkan narasi yang membangun kesan bahwa Erzaldi telah menerima uang sebesar Rp200 juta dari pengurusan lahan PT NKI. Namun, dalam pernyataan langsungnya, Erzaldi secara tegas membantah tudingan tersebut.

Menurut hukum yang berlaku, sebuah tuduhan harus didukung oleh bukti yang sah sebelum seseorang dinyatakan bersalah. Dalam hal ini, penulis artikel seharusnya berhati-hati untuk tidak membuat kesimpulan sepihak yang bisa mencemarkan nama baik seseorang tanpa dasar yang kuat.

Kedua, terkait dengan kasus korupsi Komoditas Timah Babel, tuduhan yang diarahkan kepada Erzaldi berdasarkan keterangan dari seorang pengacara terdakwa juga seharusnya diteliti dengan cermat.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, di mana hukum harus ditegakkan dengan adil dan tidak memihak. Proses hukum harus dijalankan dengan presisi, di mana setiap tuduhan memerlukan bukti yang jelas dan tidak hanya berdasarkan opini atau asumsi tanpa bukti pendukung.

Tidak bisa dipungkiri bahwa berita tentang kasus hukum yang melibatkan tokoh publik apalagi dirinya sebagai peserta kontestasi dalam calon pilkada Babel 2024 memiliki daya tarik yang tinggi bagi media.

Namun, media juga memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas jurnalistik dengan tidak menyajikan informasi yang dapat menyesatkan atau menggiring opini publik tanpa dasar hukum yang kuat.

Tindakan ini berisiko menimbulkan trial by the media, di mana opini publik terbentuk bukan berdasarkan fakta yang terverifikasi, melainkan dari berita yang sensasional dan tidak berimbang.

Lebih lanjut, Pasal 6 huruf a UU Pers mewajibkan pers untuk memenuhi hak publik atas informasi yang benar, akurat, dan valid. Dalam konteks ini, pemberitaan yang lebih mengedepankan asumsi dan tuduhan tanpa verifikasi yang kuat jelas melanggar prinsip dasar tersebut.

Pemberitaan semacam ini tidak hanya merugikan pihak yang diberitakan, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap media.

Dalam menghadapi situasi seperti ini, masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi berita yang disajikan oleh media. Jangan sampai terjebak dalam opini yang dibentuk oleh berita yang belum tentu akurat atau bahkan cenderung menghakimi.

Pers memiliki tanggung jawab untuk menjaga objektivitas, dan masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan seimbang.

Dalam kesimpulannya, pemberitaan terkait Erzaldi Rosman dalam kasus korupsi yang disajikan oleh beberapa media patut dipertanyakan integritasnya. Penekanan pada asas praduga tak bersalah serta ketaatan pada kode etik jurnalistik adalah hal yang mutlak diperlukan dalam pemberitaan kasus hukum, terutama yang melibatkan tokoh publik.

Media harus selalu ingat bahwa mereka memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik, dan kekuatan tersebut harus digunakan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Membentuk opini publik yang seimbang dan adil adalah tanggung jawab bersama, baik oleh media maupun masyarakat. Dalam kasus yang melibatkan Erzaldi Rosman, penting untuk menunggu hasil investigasi dan proses pengadilan yang berjalan sebelum menarik kesimpulan apapun.

Media, sebagai pilar keempat demokrasi, harus menjalankan fungsinya dengan penuh tanggung jawab dan menghormati prinsip-prinsip hukum yang berlaku, termasuk asas praduga tak bersalah.

Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan media akan tetap terjaga, dan keadilan dapat ditegakkan bagi semua pihak yang terlibat.
——————————————————————————————————————————–
Penulis : Adinda Putri Nabiilah, S.H.,C.IJ., C.PW, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH UNSRI)

banner 120x600
  • Bagikan